vUr5v3Aga5Yx91u6PVcXOoUvbSaqSTTT1jtWFLWh

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Bookmark

Menyelami Kompleksitas Hukum Bisnis Digital di Era Ekonomi Internet

Masyolan.com - Seiring bergesernya aktivitas ekonomi ke ranah digital, pemahaman terhadap hukum bisnis digital menjadi sangat penting, terutama bagi pelaku usaha, startup, hingga institusi pendidikan. Ekosistem digital bukan sekadar soal transaksi online, tetapi juga melibatkan hak kepemilikan, keamanan data, hingga tanggung jawab hukum lintas negara. Di tengah pertumbuhan e-commerce, fintech, dan media sosial yang begitu pesat, penguasaan aspek hukum menjadi pondasi yang tak bisa diabaikan.

📌 Untuk informasi mendalam dan terkini, Anda bisa mengunjungi hukum bisnis digital, sumber terpercaya mengenai perkembangan hukum digital di Indonesia.

Hukum Kontrak Digital (E-Contract) dalam Bisnis Online

Dalam konteks digital, kontrak sering kali tidak berbentuk dokumen cetak yang ditandatangani secara fisik. Kontrak digital atau e-contract kini menjadi praktik umum di hampir seluruh platform digital. Baik ketika pengguna menyetujui syarat dan ketentuan (terms & conditions) di marketplace, maupun saat perusahaan menyepakati kerja sama lewat email atau aplikasi kolaborasi, semuanya masuk dalam kategori kontrak elektronik.

Di Indonesia, keberlakuan kontrak digital telah diakui melalui UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta turunannya seperti PP No. 71 Tahun 2019. Agar sah secara hukum, kontrak elektronik harus memenuhi empat syarat perjanjian sesuai KUH Perdata: adanya kesepakatan, kecakapan para pihak, objek tertentu, dan sebab yang halal.

Contohnya, dalam platform e-commerce, konfirmasi pembelian setelah pengguna menyetujui ketentuan penjual merupakan bentuk e-contract. Bila kemudian terjadi wanprestasi atau produk tak sesuai deskripsi, pengguna berhak menuntut perlindungan hukum atas dasar kontrak tersebut.

Yang sering luput diperhatikan pelaku usaha adalah kurangnya dokumentasi transaksi atau tidak menyimpan bukti persetujuan. Padahal, dalam sengketa digital, validitas bukti elektronik sangat penting.

Perlindungan Data Pribadi dalam Dunia Digital

Isu privasi dan perlindungan data pribadi menjadi sorotan utama di tengah masifnya pengumpulan data oleh perusahaan digital. Mulai dari nama, alamat email, lokasi, hingga preferensi belanja kini menjadi aset berharga bagi penyedia layanan online. Namun, penggunaan data ini tidak bisa sembarangan.

Indonesia telah memiliki UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang menjadi landasan hukum utama dalam menjaga hak privasi masyarakat. Undang-undang ini mengatur antara lain:

  • Kewajiban memberikan persetujuan eksplisit sebelum data dikumpulkan,

  • Hak untuk mengakses dan menghapus data pribadi,

  • Kewajiban pengendali data untuk melindungi informasi pengguna secara teknis dan administratif.

Kegagalan dalam menjaga keamanan data dapat berakibat fatal. Kita masih ingat kasus kebocoran data Tokopedia dan BPJS Kesehatan yang menimbulkan keresahan publik. UU PDP memberi sanksi administratif, bahkan pidana, bagi pengendali data yang lalai atau menyalahgunakan informasi pribadi.

Pelaku bisnis digital harus memiliki kebijakan privasi yang jelas dan transparan, serta memberi pengguna kontrol atas datanya. Di sisi lain, pengguna juga harus lebih waspada dalam memberikan informasi kepada platform digital.

Keamanan Siber dan Perlindungan Sistem Informasi

Ancaman kejahatan siber seperti peretasan (hacking), phishing, ransomware, hingga penyalahgunaan data identitas kian meningkat. Maka dari itu, keamanan sistem informasi menjadi elemen yang tak bisa dikesampingkan dalam membangun bisnis digital yang andal dan terpercaya.

UU ITE dan UU PDP memberi kerangka hukum bagi upaya perlindungan data dan sistem informasi. Selain itu, terdapat regulasi teknis dari BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara) mengenai standar keamanan informasi.

Platform digital wajib menerapkan sistem autentikasi ganda, enkripsi data, firewall, serta rutin melakukan audit keamanan. Bagi platform yang menyimpan data sensitif seperti layanan kesehatan atau keuangan, standar perlindungan harus jauh lebih ketat.

Tanggung jawab hukum juga tidak berhenti pada pengembang sistem saja, tetapi juga menyangkut pengguna. Jika sebuah platform tidak memberikan edukasi kepada pengguna soal keamanan akun, perusahaan bisa dianggap lalai dan menanggung konsekuensi hukum.

Pajak dalam Transaksi Digital

Transaksi di dunia maya tetap memiliki kewajiban yang sama dengan transaksi fisik—terutama dalam hal perpajakan. Sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan No. 60/PMK.03/2022, penyedia layanan digital yang menjual barang atau jasa kena pajak (BKP/JKP) wajib mengenakan dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11%.

Penyelenggara platform digital seperti Shopee, Tokopedia, Netflix, hingga Google telah ditunjuk sebagai pemungut PPN oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dengan demikian, para pelaku bisnis yang bergabung di dalam platform tersebut pun wajib memperhatikan pemotongan dan pelaporan pajaknya.

Selain itu, pelaku usaha digital yang telah melebihi batas omzet tertentu harus mendaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Jika tidak, bisnis tersebut bisa dianggap melakukan pelanggaran administratif, bahkan pidana perpajakan.

Banyak pelaku UMKM digital masih awam soal ini. Padahal, transparansi dan kepatuhan terhadap pajak bukan hanya persoalan legalitas, tetapi juga membangun kepercayaan dari mitra dan konsumen.

Tanggung Jawab Platform Digital atas Konten dan Layanan

Dalam ekosistem digital, platform seperti media sosial, marketplace, dan forum diskusi sering kali hanya dianggap sebagai perantara. Namun dari sisi hukum, mereka tetap memiliki tanggung jawab atas aktivitas pengguna di dalamnya.

Misalnya, jika sebuah marketplace membiarkan akun palsu menjual produk ilegal tanpa pengawasan, platform tersebut bisa dikenai sanksi. UU ITE dan PP No. 80 Tahun 2019 menegaskan bahwa penyelenggara sistem elektronik wajib menyaring dan menangani laporan konten yang melanggar hukum.

Selain itu, tanggung jawab atas pelanggaran hak cipta juga menjadi tantangan serius. Platform yang tidak menurunkan konten bajakan setelah mendapat laporan resmi bisa dianggap turut serta dalam pelanggaran.

Sebagai antisipasi, perusahaan digital perlu membentuk tim hukum internal, menyediakan kanal pelaporan (report button), dan bekerja sama dengan lembaga pengawas konten. Transparansi proses moderasi dan tanggap terhadap pelanggaran menjadi kunci membangun reputasi digital yang berkelanjutan.

Regulasi Khusus untuk Fintech dan Inovasi Keuangan Digital

Industri teknologi finansial atau fintech terus berkembang dengan pesat, menciptakan layanan seperti pinjaman online (peer-to-peer lending), robo-advisor, dompet digital, hingga investasi berbasis aplikasi. Namun, di balik kemudahan ini, pengawasan hukum menjadi tantangan tersendiri.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan POJK No. 77/POJK.01/2016 untuk mengatur layanan pinjaman online, sedangkan Bank Indonesia mengawasi sistem pembayaran digital melalui Peraturan BI No. 23/6/PBI/2021. Di sisi lain, investasi berbasis aset kripto diawasi oleh Bappebti.

Setiap jenis layanan memiliki kewajiban berbeda, mulai dari pelaporan data, perlindungan konsumen, hingga sistem mitigasi risiko. Misalnya, dalam peer-to-peer lending, penyelenggara harus menjamin transparansi bunga, jangka waktu pinjaman, dan risiko gagal bayar.

Masyarakat sebagai pengguna juga perlu diberikan edukasi memadai agar tidak terjebak dalam layanan ilegal yang kerap menyamar sebagai fintech resmi.